"Publick Sphere" Habermars Dan Konsep "Carceral - Liberalisme" Michel Foucault"
Habermas mencoba meluruskan proyek modernitas dengan menguji dasar-dasar konsensus sosial melalui gagasan public sphere. Habermas mengarahkan perhatian pada bentuk-benuk bahasa dan komunikasi sebagai basis kohesi sosial, integrasi dan emansipasi.
Menurut Habermas, ruang public adalah mediator atau pengantara bagi masyarakat dan negara. Konsensus didasarkan pada pemahaman bersama atas berbagai kepentingan dan kebutuhan.
Gagasan ini muncul pada era borjuisme Eropa abad 18, dimana perkembangan kapitalisme merusak ruang public liberal klasik dan institui-institusinya.
Tetapi Habermas melihat rusaknya ruang public oleh intervensi negara yang yang menyebabkan kekuasaan mengalami krisis legitimasi.
Negara mengintervensi ruang public yang menyebabkan terjadinya perpindahan krisis dari ruang ekonomi ke ruang sosial dan kehidupan politik (Habermas 1988,6).
Habermas mendorong terciptanya ruang public yang lebih progresif dan emansipatoris melalui tindakan komunikasi, diskusi, negosiasi dan persetujuan.
Habermas menyerukan gagasan situasi percakapan yang ideal melalui mana konsensus atau persetujuan rasional tercapai.
Dengan menggunakan pendekatan Habermas, permasalahan pandemi Covid-19 di Indonesia seyogyanya dapat menajdi titik kritik terhadap pemerintah, warga, dan dunia global sendiri.
Masih banyaknya kabar burung, hoax, seputaran Covid-19 menunjukkan kurang tercapainya konsensus antar pemerintah dan warga negara. Penyelenggaraan Pilkada dan larangan berdemonstrasi merupakan bentuk komunikasi satu arah pemerintah yang mendapat pro-kontra di kalangan rakyat Indonesia.
Meski demikian, tentu Habermas tidak akan sepakat dengan tindakan vandal dari sebagian oknum pendemo atau tindakan represif aparat.
Bahasa yang digunakan pemerintah, melalui juru bicara gugus tugas atau corong pemerintah lainnya beragam dan membingungkan publik. Baik di tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. Anjuran pemerintah seakan menjadi sebatas seruan yang hamper pasti diabaikan.
Belum lagi kuatnya informasi hoax seputar Covid-19. Dapat terlihat, ketika sebagian masyarakat percaya bahwa pandemi ini hanya ulah "elit global" yang ingin memperkaya diri melalui penjualan vaksin di kemudian hari.
Termasuk banyaknya meme yang mennyindir pemerintah dalam berkomunikasi ketika pandemi, sehingga menuai protes, seperti; tenaga kesehatan tidak disiplin menggunakan APD, atau herbal-herbal yang diklaim mampu mencegah Covid-19.
Konsep Carceral Michel Foucault, bahwa kita telah melihat, dalam peradilan pidana, penjara mengubah prosedur hukuman menjadi teknik penjara; kepulauan carceral memindahkan teknik ini dari lembaga pemasyarakatan ke seluruh badan sosial.
Dengan beberapa hasil penting.Jika dicermati, disiplin dalam pemikiran Foucault merupakan mekanisme kontrol yang teliti atas tubuh. Dengan disiplin tubuh dilatih hingga terampil. Tubuh juga terus menerus diuji dan dikoreksi sampai keterampilan tubuh menjadi otomatis.
Selain meningkatkan keterampilan, disiplin dapat 'memperbesar' efisiensi dan efektifitas tubuh dan di sisi lain juga 'memperkecil' paksaan terhadap tubuh. Disiplin merupakan cara kuasa melakukan kontrol terhadap individu dan pada akhirnya menghasilkan individu yang patuh dan berguna.
Tubuh menjadi sasaran utama disiplin. Tubuh dilatih dan dijadikan terampil sehingga berguna. Mekanisme kuasa berjalan di dalam seluruh proses pelatihan. Melalui latihan, tubuh ditundukkan pada keteraturan gerak, ketepatan waktu dan sikap.
Disiplin harus dibedakan dengan kepatuhan seorang budak yang bertindak atas kemauan tuannya. Juga disiplin berbeda dengan disiplin monastik yang juga bertindak atas kemauan "yang di atas".
Disiplin lebih ditujukan demi pengembangan penguasaan individu terhadap tubuhnya sendiri.
Dalam gagasan penelitian Foucault tentang penjara, ia menemukan bahwa proses subyeksi yang efektif adalah melalui mekanisme disiplin. Dalam disiplin tubuh tidak disakiti melainkan disentuh sisi interioritasnya (jiwa).
Disiplin hendaknya menjadi model "hukuman baru".
Hukuman tidak lagi menyentuh tubuh tetapi menyentuh ruang internal seseorang, pada pembenahan jiwa, imajinasi, kesadaran atau pernyataan alasan.
Bagi Foucault hukuman fisik atas kesalahan atau pelanggaran menjadi sama jahatnya, bahkan lebih jahat dari pelanggaran itu sendiri.
Padahal, kekuasaan yang efektif justru kian tidak membutuhkan kehadiran fisik. Aktualitas pelaksanaannya kian tidak diperlukan, tetapi efeknya dirasakan. Gagasan inilah jantung dari disiplin.
Foucault menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk hukuman baru di abad ke-19 diubah menjadi teknik dan prosedur umum untuk mengendalikan populasi dan bagaimana masyarakat abad ke-20 menormalkan kontrol sosial, melalui pengawasan dan pemantauan yang konstan dan permanen.
Dengan "budaya carceral, Foucault mengacu pada budaya di mana model pengawasan panoptik telah disebarkan sebagai prinsip organisasi sosial
Dalam konteks Liberalisme dan Neo-Liberalisme, jelas bahwa Foucault memiliki arti yang agak berbeda dengan liberalisme daripada yang dilakukan oleh filsuf politik. Dia tidak berbicara tentang 'periode' liberal, dia juga tidak peduli secara prinsip dengan penulisan sejarah ide filosofis tentang kebebasan atau hak.
Dari perspektif Foucault, liberalisme lebih seperti etos pemerintahan. Liberalisme dipahami bukan sebagai doktrin substantif atau praktik pemerintahan itu sendiri, tetapi sebagai etos yang gelisah dan tidak puas dari kritik berulang terhadap alasan dan politik negara.
Oleh karena itu, munculnya liberalisme bertepatan dengan penemuan bahwa pemerintahan politik dapat menjadi kehancurannya sendiri, bahwa dengan terlalu banyak memerintah, penguasa menggagalkan tujuan pemerintahan.
Karenanya liberalisme bukanlah tentang mengatur lebih sedikit tetapi tentang perintah berkelanjutan yang harus diatur oleh politisi dan penguasa dengan hati-hati, hati-hati, ekonomis, sederhana.
Dengan demikian, liberalisme mewakili, dalam arti tertentu, pendekatan yang berhati-hati dan kritis terhadap diri sendiri jika tidak harus memberikan pencerahan terhadap masalah pemerintahan.
Dengan demikian, penjelasan Foucault tentang liberalisme mengarahkan perhatian kita pada sarana teknis yang dengannya aspirasi dan cita-cita rasionalitas politik liberal dapat dipraktikkan.
Ini bukan masalah mendekonstruksi logika internal atau kontradiksi dalam filsafat politik liberal; melainkan untuk memperhatikan hubungan etos liberalisme dan teknologinya; pengorganisasiannya sebagai rasionalitas praktis yang diarahkan pada tujuan tertentu.
Penekanan pada orang-orang ini semakin penting ketika kita mempertimbangkan cara liberalisme telah digambarkan dalam inkarnasi neo-liberal.
Seperti pendapat Graham Burchell, neo-liberalisme menggantikan naturalisme liberalisme dengan jenis konstruktivisme tertentu.
Artikel ini adalah tulisan bersama dengan :
- ANSHAR AMINULLAH,
- IMAM KHOMAENI HAYATULLAH,
- MITA ROSALIZA,
- WILFRID VALIANCE
Referensi
- Couch, D. L., Robinson, P., & Komesaroff, P. A. (2020). Covid-19 Extending Surveillance and the Panopticon. Journal of Bioethical Inquiry Pty Ltd. 2020, 1-6.
- Joseph, Jonathan (Ed.) (1988). Social theory a Reader. United Kingdom. Edinburgh University Press.
- Jones, P., & Bradbury, L. (2018). Introducing Social Theory. United Kingdom: Polity Press.
- Foucault, Michel. (2012). Arkeologi Pengetahuan. Yogyakarta : IRCisoD
Tulis Komentar